Selasa, 25 Maret 2014

MAKALAH MAP


MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
1.      Di antara aspek-aspek (perusahaan) yang dapat diubah tersebut aspek manakah yang paling sesuai untuk diterapkan di instansi pemerintah, terutama di instansi tempat Anda bekerja. Sebutkan alasannya!
Di antara aspek-aspek perubahan yang dianggap fundamental di kalangan instansi pemerntah dan perlu dilakukan perubahan:
1.        Budaya/Perilaku
Budaya atau perilaku merupakan salah satu faktor terpenting yang menentukan kualitas  kinerja karyawan di instansi pemerintah. Keberhasilan di beberapa negara budaya maju, tidak hanya seberapa hebat teknologi yang mereka miliki, tetapi seberapa “kontribusi budaya” pada organisasi. Salah satu contoh budaya yang menjadi pendorong kemajuan organisasi di negara jepang adalah “KAIZEN” atau perbaikan terus menerus.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia.
Pengertian Budaya Menurut Koentjaraningrat,  Budaya adalah suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Dari pendapat ini dapat ditarik salah satu kesimpulan bahwa budaya adalah tindakan yang dihasilkan manusia yang merujuk pada pola pikirnya. Dalam kehidupan organisasi, budaya berperab terhadap “tindakannya, baik yang berkenaan dengan tugas maupun tanggungjawab yang dibebankan kepadanya”.

Dari hasil observasi penulis, beberapa perilaku atau budaya karyawan yang perlu untuk dilakukan pembinaan, antara lain:
-          Orientasi kerja karyawan yang cenderung melihat pada “hasil” yang didapatkan, dibanding pada tanggungjawab “menyelesaikan” tugas atau predikat sebagai “abdi negara”.  Mindset yang tertuang dalam Perilaku karyawan ini seringkali memunculkan satu istilah, ada tempat yang dianggap “basah/penuh uang” dan “kering/minim anggaran”.
-          Estetika dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. mindset pegawai selama ini lebih pada suasana “dilayani” dibanding memberikan “pelayanan” kepada masyarakat (public service delivery);
-          Kecenderungan menghindari tanggungjawab yang dibebankan kepadanya;
-          Kurangnya motivasi untuk melakukan inovasi dan perubahan;
-          Budaya organisasi yang cenderung tidak mendorong munculnya kreativitas karyawan dalam menghasilkan ide-ide/gagasan maupun tindakan baru;

2.        Sistem promosi jabatan
mekanisme promosi jabatan di lingkungan pemerintahan menganut sistem senioritas. didasarkan pada “pemenuhan/persyaratan pangkat” yang telah dipenuhi yang bersangkutan. Sementara di organisasi swasta, promosi jabatan lebih cenderung didasarkan pada kemampuan /profesionalitas seseorang.kondisi inilah yang menurut hemat penulis menjadi salah satu penghambat “maju” bagi organisasi pemerintah.

Persyaratan untuk menduduki jabatan tertentu telah dipahami bersama, harus merujuk pada kemampuan (kapabilitas) dan keterampilan yang dimiliki. Dalam kenyataannya, hampir di sebagian besar organisasi pemerintah di Indonesia, belum mampu melaksanakan uji kemampuan dan kelayakan secara riil dalam kehidupan organisasi. Pit and proper test hanya satu konsep teori semata.

3.        Teknologi
Kinerja (performance), output maupun pelayanan yang baik kepada masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemanfaat teknologi secara optimal. Harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, murah, dan tidak bertele-tele,  salah  satu solusinya adalah pemanfaatan teknologi secara relevan, efektif dan efisien;
Beberapa organisasi pemerintah yang dianggap maju, telah menggunakan teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kinerjanya. Namun di beberapa organisasi pemerintah masih dengan “teknologi” yang telah sekian lama. Kondisi ini  jelas tidak mendukung satu perubahan ke arah lebih baik. Beberapa kasus sering kita jumpai, lambannya pelayanan yang diberikan karyawan pemerintah, baik terhadap pelayanan maupun penyediaan informasi. Semestinya dengan kemajuan teknologi yang ada sekarang, sistem pelayanan menjadi lebih baik, informasi dengan mudah kita akses.

4.        efisiensi anggaran
di antara kelemahan dan budaya organisasi pemerintah yang menjadi “parasit” terhadap implementasi “good governance” adalah inefisiensi pada anggaran yang tersedia. Mental para karyawan adalah “bagaimana menghabiskan” alokasi anggaran yang ada. Semestinya, bagaimana menggunakan alokasi anggaran untuk lebih “punya nilai”, baik bagi organisasi maupun masyarakat;

5.        efektivitas tugas
penyelesaian tugas pada karyawan sampai saat ini, tidak ditetapkan secara kuantitatif. Tidak ada standar kerja yang harus diselesaikan oleh masing-masing karyawan. Fenomena yag terlihat, yang “mau” dan “mampu” sajalah yang menyelesaikan tugas. Sementara dilihat dari struktur tugas, pembagian kerja/tanggungjawab telah ditetapkan masing-masing oleh pimpinan.


2.      Berkaitan dengan sikap dan perilaku, banyak kritik dilontarkan terhadap karyawan atau pejabat yang sekembali dari pendidikan dan pelatihan karyawan, tidak menerapkan apa yang mereka peroleh atau hasil pendidikan dan pelatihannya. Mereka kembali menyesuaikan dengan budaya kerja yang ada, artinya kurang berani melakukan inovasi dan perubahan. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Keberanian melakukan inovasi dan perubahan bagi mereka yang telah melakukan diklat:
Ada beberapa alasan, mengapa karyawan tidak berani melakukan inovasi dalam organisasi:
1.    Sistem organisasi tidak memberikan peluang bagi karyawan untuk melakukan improvisasi atau mengimplementasikan hasil yang didapatkan dari diklat;
2.    Kalaupun organisasi memberikan dukungan, tidak lebih dari sekedar dukungan mental. Sementara untuk menerapkan atau membuat perubahan, tidak cukup dengan bermodalkan semanta, lebih dari itu dibutuhkan satu “sistem”, baik pada anggaran, peralatan/teknologi, budaya kerja dan lain-lain;
3.    Adanya ketakutan pada yang bersangkutan untuk melakukan perubahan. Ketakutan ini dilatarbelakangi oleh satu asumsi, bahwa pimpinan “cenderung tidak mau di”gurui” atau diberi masukan ide-ide baru;
4.    Karakteristik pimpinan organisasi. Tidak semua pimpinan bersedia untuk menerima perubahan, ada yang anti perubahan. Sebagai karyawan, sebagaian besar lebih memilih “aman” dibandingkan untuk beroposisi dengan pimpinan.
5.    Strategi karyawan dalam melakukan perubahan tidak “elegan”.  Dalam melakukan perubahan pada organisasi, ada hal-hal yang sering terlupakan. Perubahan tidak hany sekedar satuu proses transformasi, ide-ide baru, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana “membuat” semua orang untuk bisa menerima perubahan secara universal. Pada konteks ini, kemampuan melakukan “komunikasi” sangat menentukan satu proses perubahan dalam organisasi.
3.   Carilah di website/internet Anda, suatu kasus atau kondisi yang sedang terjadi di suatu organisasi kerja (swasta atau pun pemerintah) sehingga Anda dapat menilai atau menyimpulkan bahwa kasus tersebut menggambarkan suatu perubahan ( apakah itu berkaitan dengan aspek strategi, budaya, struktur, tugas, teknologi, dan sikap serta keahlian karyawan) Apa alasan Anda menyimpulkan hal tersebut?

STRATEGI BISNIS NEGARA JEPANG
Kemajuan Jepang dalam mengelola bisnisnyam melebihi kemampuan Amerika dan beberapa Negara Eropa lainnya. Keberhasilan Negeri Matahari terbit ini, tidak hanya “milik” perusahaan/pebisnis semata, lebih dari itu, masyarakat Jepang merupakan salah satu Negara dengan Pendapatan perkapita tertinggi di dunia.
Menurut laporan the world Development Report Bank Dunia tahun 1993 pendapatan per kapita Jepang mencapai $26.930/tahun sementara USA hanya $22.240/tahun. Sedangkan Indonesia tertinggal jauh dari Jepang yang hanya memiliki pendapatan per kapita $600/tahun.
keberhasilan jepang dalam berbagai aspek, baik ekonomi, teknologi dan budaya, mengundang minat dunia barat untuk melakukan penelitian. Bahkan beberapa di antara peneliti, bersedia tanpa digaji bekerja di Jepang, dengan catata, mereka diizinkan untuk melakukan penelitian terhadap budaya maupun menggali segala rahasia yang mampu mengantarkan jepang sebagai penguasa ekonomi dunia.
“Di balik kesuksesan Jepang, apabila dikilas balik ke  era 60-an, Jepang mencoba bangkit dan memasuki pasar global untuk barang hasil industri, baik industri elektronik, otomotive dan lain sebagainya. Bagaimana respon dunia? Jepang menjadi cemohan dan bahan tertawaan, barang hasil industri Jepang dicemooh sebagai barang tiruan, imitasi dan kuno, dan sebagainya. Mobil Mazda “kotak”, Suzuki “mini”, saat itu dianggap sebagai mobil mainan, dan hanya dilirik oleh orang-orang yang pengin punya mobil, tetapi duit cekak. Pengendara mobil Jepang pada waktu itu, umumnya mendapat cibiran dari pengendara mobil Eropah atau mobil Amerika, bahwa mobil Eropa atau mobil Amerikalah baru mobil sesungguhnya”
Apa yang dilakukan menghadapi semua persoalan ini?
“Yang mereka lakukan bukan hal yang rumit, bukan menjiplak berbagai teori ekonomi dari Barat, tetapi membakar semangat tenaga kerja dan integritas tentang “etika bisnis” yang timbul dari pemikiran Ishida Baigan pada abad ke 18, kemudian diajarkan secara luas pada sekolah-sekolah Ishida yaitu Sekimon Shin-gaku, mengajarkan etika kejujuran dalam mengejar laba, dan profesionalisme di dalam bekerja, telah berhasil dengan sangat efektif”
Seylanjutnya pemikiran yang dicetuskan oleh Shibusawa Eichi pada awal abad ke 20 yaitu semboyan : “hasilkan panen yang bermutu tinggi, dan jual!”, telah berhasil membentuk masyarakat Jepang menjadi “masyarakat produksi” yang mementingkan kualitas, sehingga mereka menerapkan konsep pengendalian mutu terpadu (total quality control).
Usaha-usaha jepang dalam membangun bisnis senantiasa diiringi dengan prinsip bahwa perlua usaha perbaikan terus menerus atau “kaizen”. Budaya kaizen merupakan salah satu budaya yang memiliki kontribusi signifikan terhadap keberhasilan jepang.
Budaya kaizen inilah yang menjadi “letak perbedaan” antara perusahaan Barat dengan Jepang. Jika manajemen perubahan pada dunia barat dianggap sebagai suatu strategi perusahaan, maka yang terjadi di Jepang “perubahan” merupakan “satu budaya” yang ada dan melekat erat pada seluruh masyarakat Jepang.
Untuk mengukur sejauh mana perbedaan Jepang dan Amerika dalam “memanaje perusahaan”,
Di tahun 1950-an, Masaaki Imai, bekerja di Japan Productivity Center di Washington DC. mengantar sekelompok pengusaha Jepang yang sedang mengunjungi perusahaan Amerika untuk mempelajari “rahasia produktivitas industri Amerika. Toshiro Yamada, sekarang pensiunan profesor di Faculty of Engineering di Universitas Kyoto, adalah salah seorang anggota kelompok belajar yang mengunjungi Amerika Serikat untuk mempelajari industri kendaraan. Belum lama berselang anggota kelompoknya berkumpul kembali untuk merayakan ulang tahun perak perjalanan mereka.
Di meja perjamuan Yamada mengatakan bahwa, belum lama ini ia kembali ke Amerika Serikat dalam “perjalanan sentimentil” untuk meninjau kembali beberapa perusahaan yang telah dikunjunginya, di antaranya pabrik baja River Rouge di Dearborn, Michigan. Dengan menggelengkan kepalanya karena heran, ia berkata, “Tahukah Anda bahwa bahwa pabrik itu tetap sama seperti 25 tahun yang lalu”.


Apa sesungguhnya konsep kaizen yang menjadi dasar keberhasilan jepang?
Kaizen berasal dari kata KAI artinya perbaikan dan ZEN artinya baik. Bila diartikan Kaizen artinya perbaikan. Kaizen diartikan sebagai perbaikan terus menerus (continous improvement). Ciri kunci manajemen kaizen antara lain lebih memperhatikan proses dan bukan hasil, manajmen fungsional-silang dan menggunakan lingkaran kualitas dan perlatan lain untuk mendukung peningkatan yang terus menerus (Cane, 1998:27).
Kaizen atau perbaikan secara terus menerus selalu beriringan dengan Total Quality Management (TQM). Bahkan sebelum filosofi TQM ini terlaksana atau sebelum system mutu dapat dilaksanakan dalam suatu perusahaan maka filosofi ini tidak akan dapat dilaksanakan sehingga perbaikan secara terus menerus (Just in time) ini adalah usaha yang melekat pada filosofi TQM itu sendiri. Sehingga Kaizen bisa juga merupakan suatu kesatuan pandangan yang komprehensif dan terintegrasi yang memiliki ciri khas :
    1.     Berorientasi pada pelanggan.
    2.     Pengendalian mutu secara menyeluruh (Total Quality Management);
    3.     Robotik
    4.     Gugus kendali mutu
    5.     System saran
    6.     Otomatisasi
    7.     Displin ditempat kerja
    8.     Pemeliharan produktiftas
    9.     Kanban (pengontrol inventory)
10.     Penyempurnaan dan perbaikan mutu
11.     Tepat waktu
12.     Tanpa cacat
13.     Kegiatan kelompok kecil
14.     Hubungan kerjasama antara manajer dan karyawan
15.     Pengembangan produk baru

KESIMPULAN
Inti KAIZEN sederhana sekali dan langsung pada sasaran. KAIZEN berarti penyempurnaan. Di samping itu KAIZEN berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan setiap orang, baik manajer maupun karyawan. Filsafat KAIZEN menganggap bahwa cara hidup kita – baik cara, kehidupan sosial, maupun kehidupan rumah tangga – perlu disempurnakan setiap saat.
Dari realita yang ada, baik di dunia pemerintahan dan bisnis Indonesia, terdapat beberapa perbedaan mendasar antara “manajemen Indonesia dan Jepang”
1.        Keterlibatan karyawan pada manajemen perusahaan tidak begitu penting, bandingkan dengan manajemen Jepang.
2.        Perbedaan perlakuan dan fasilitas antara pimpinan dan karyawan di indonesia, yang cenderung “membuat kelas” antar pimpinan dan karyawan, akibatnya terjadi kecemburuan sosial yang pada akhirnya terjadi hubungan tidak harmonis antar pimpinan perusahaan/organisasi pemerintah dengan karyawan/staf;
3.        “rasa aman” pada perusahaan jepang dibandingkan dengan “perusahaan/birokrasi” pemerintah Indonesia. Di Jepang, Manajemen orang Jepang memberikan tekanan kepada para pekerja sebagai modal utama dan terpenting dalam perusahaan. Dalam konteks ini manajer-manajer Jepang menggunakan sistem seumur hidup bagi para pekerja. Pada umumnya, perusahaan-perusaan Jepang berharap bisa memperkejakan para pekerja selama 34 sampai 40 tahun, sampai mereka berhenti. Sistem pekerjaan seumur hidup mempunyai dua pengaruh positif. Pertama, sistem tersebut menjamin kontinuitas dan kekuatan pekerja serta mendorong para pekerja untuk berpartisipasi dalam area manajemen perusahaan. Kedua, ketika para pekerja mempunyai rasa aman dalam perusahaan, sikap mereka terhadap inovasi dan teknologi adalah positif. Tidak seperti di Negara Barat, di Jepang penggunaan robot dalam pabrik dapat diterima dengan baik oleh para pekerja. Bandingkan dengan Indonesia, “rasa aman” hanya dimiliki di kalangan pemerintah, tidak di dunia swasta. Keputusan PHK kerap dilakukan sewenang-wenang oleh pimpinan perusahaan. Sementara di dunia birokrasi, meskipun ada “rasa aman pada pekerjaan” tetapi tidak ada rasa nyaman dalam bekerja. Otoritas atau kewenangan yang dimiliki para kepala, baik kepala bagian, kepala bidang atau kepala instansi  lainnya, mendorong mereka pada sikap “arogan” dan “berkuasa” penuh pada karyawan. Jarang sekali ditemui pimpinan birokrasi yang menghargai eksistensi “karyawan” di organisasinya.
4.        Hubungan yang harmonis, Di Jepang tidak ada konflik yang berarti antara buruh dan manajer atau antara perusahaan dengan pemerintah. Ada dua alasan untuk hal ini. Pertama, orang Jepang tidak mengenal perbedaan kelas yang kuat. Secara ekonomi, mayoritas orang Jepang sekitar 69 persen menganggap diri mereka sebagai kelompok berpendapatan menengah atau menengah atas. Kedua, kekuatan buruh Jepang secara umum cukup terdidik, mampu dan mempunyai motivasi yang tinggi dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi di negerinya. Bagaimana di Indonesia? Demontrasi dan konflik antar buruh dengan perusahaan hampir menjadi bahan pemberitaan media di setiap harinya.
5.        Dimensi budaya juga memainkan peran utama dalam bisnis orang Jepang dan industri dunia. Keselarasan dan kesatuan adalah karakteristik masyarakat Jepang secara keseluruhan. Keselarasan ini juga terasa kuat dalam perusahaan dikarenakan filosopi dan nilai-nilai persaudaraan dan perasaaan kesetiakawanan yang diterima oleh seluruh anggota perusahaan. Oleh karena itu, hubungan antara manajer dan pekerja berdasarkan filosopi, pada dasarnya perusahaan adalah sebuah keluarga besar di mana para anggotanya hidup bersama secara harmonis.
6.        Dalam masyarakat Jepang “diri” tidak penting. Yang paling penting adalah semangat kerja tim. Sebuah ide, di mana semangat tersebut telah mengakar begitu dalam dalam keluarga orang Jepang dan merupakan hal terbesar dalam kelompok. Ide ini juga berlaku di perusahaan. Buktinya adalah setiap pengakuan prestasi atau distribusi tugas langsung ditujukan kepada kelompok daripada individu. Begitu juga, setiap kesalahan dari seorang pekerja menjadi tanggungjawab kelompok. Sementara di bangsa kita, sikap mementingkan diri sendiri, merupakan target utama setiap orang. Semangat membangun kerjasama tim (teamwork) hanya disuarakan pimpinan dalam menyelesaikan satu pekerjaan, atau “misi/ambisi” yang terselubung dari pimpinan dari masing-masing pimpinan. Sikap/perilaku pimpinan ini  melahirkan satu pameo “kesalahan milik karyawan dan keberhasilan milik para pimpinan
7.        Sebuah istilah yang menonjol dalam sistem keluarga orang Jepang adalah “amae” kata ini melukiskan sebuah perasaan keterikatan antara anak terhadap cinta kepada ibunya. Bagaimanapun juga, ide keterikatan juga telah mempengaruhi hubungan personal di antara orang dewasa. Yang jelas, dalam perusahaan, “amae” memainkan peran utama dalam hubungan vertikal antara manajer dengan subordinatnya dan juga hubungan herizontal di antara para pekerja itu sendiri.
Salah satu dimensi budaya Jepang yang juga merupakan keuntungan bagi para manajer adalah bagaimana pendekatan mereka terhadap gejala seperti ketidakjelasan, ketidakpastian, ketidaksempurnaan dan kepercayaan. Situasi yang demikian sering terjadi dalam perusahaan yang menggunakan manajemen pendekatan Barat yang perlu di atasi dengan segera dan sungguh-sungguh.
Menurut Takeo Fujisawa, seorang ahli dari The Nomura Research Institut, manajemen orang Jepang adalah 90 % mirip dengan pendekatan Barat, akan tetapi 5 % yang membuat segalanya menjadi berbeda, karena 5 % tersebut terdapat aspek yang paling penting yaitu pendekatan manusia secara total.






Tidak ada komentar: