MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
1.
Di antara aspek-aspek (perusahaan) yang dapat diubah
tersebut aspek manakah yang paling sesuai untuk diterapkan di instansi
pemerintah, terutama di instansi tempat Anda bekerja. Sebutkan alasannya!
Di antara aspek-aspek perubahan yang dianggap
fundamental di kalangan instansi pemerntah dan perlu dilakukan perubahan:
1.
Budaya/Perilaku
Budaya atau perilaku merupakan
salah satu faktor terpenting yang menentukan kualitas kinerja karyawan di instansi pemerintah. Keberhasilan
di beberapa negara budaya maju, tidak hanya seberapa hebat teknologi yang
mereka miliki, tetapi seberapa “kontribusi budaya” pada organisasi. Salah satu
contoh budaya yang menjadi pendorong kemajuan organisasi di negara jepang
adalah “KAIZEN” atau perbaikan terus menerus.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya diartikan sebagai pikiran,
akal budi atau adat-istiadat. Secara tata bahasa, pengertian kebudayaan
diturunkan dari kata budaya yang cenderung menunjuk pada pola pikir manusia.
Pengertian Budaya Menurut Koentjaraningrat, Budaya
adalah suatu sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Dari pendapat ini dapat ditarik salah satu kesimpulan bahwa budaya adalah
tindakan yang dihasilkan manusia yang merujuk pada pola pikirnya. Dalam
kehidupan organisasi, budaya berperab terhadap “tindakannya, baik yang
berkenaan dengan tugas maupun tanggungjawab yang dibebankan kepadanya”.
Dari hasil observasi penulis, beberapa perilaku atau budaya karyawan yang
perlu untuk dilakukan pembinaan, antara lain:
-
Orientasi kerja karyawan yang cenderung melihat pada
“hasil” yang didapatkan, dibanding pada tanggungjawab “menyelesaikan” tugas
atau predikat sebagai “abdi negara”. Mindset yang tertuang dalam Perilaku
karyawan ini seringkali memunculkan satu istilah, ada tempat yang dianggap
“basah/penuh uang” dan “kering/minim anggaran”.
-
Estetika dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. mindset pegawai selama ini lebih pada suasana
“dilayani” dibanding memberikan “pelayanan” kepada masyarakat (public service
delivery);
-
Kecenderungan menghindari tanggungjawab yang dibebankan
kepadanya;
-
Kurangnya motivasi untuk melakukan inovasi dan
perubahan;
-
Budaya organisasi yang cenderung tidak mendorong
munculnya kreativitas karyawan dalam menghasilkan ide-ide/gagasan maupun
tindakan baru;
2.
Sistem
promosi jabatan
mekanisme promosi jabatan di lingkungan pemerintahan menganut sistem
senioritas. didasarkan pada “pemenuhan/persyaratan pangkat” yang telah dipenuhi
yang bersangkutan. Sementara di organisasi swasta, promosi jabatan lebih
cenderung didasarkan pada kemampuan /profesionalitas seseorang.kondisi inilah
yang menurut hemat penulis menjadi salah satu penghambat “maju” bagi organisasi
pemerintah.
Persyaratan untuk menduduki jabatan tertentu telah dipahami bersama,
harus merujuk pada kemampuan (kapabilitas) dan keterampilan yang dimiliki.
Dalam kenyataannya, hampir di sebagian besar organisasi pemerintah di Indonesia,
belum mampu melaksanakan uji kemampuan dan kelayakan secara riil dalam
kehidupan organisasi. Pit and proper test
hanya satu konsep teori semata.
3.
Teknologi
Kinerja (performance), output maupun pelayanan yang baik kepada
masyarakat tidak bisa dilepaskan dari pemanfaat teknologi secara optimal.
Harapan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, murah, dan tidak
bertele-tele, salah satu solusinya adalah pemanfaatan teknologi
secara relevan, efektif dan efisien;
Beberapa organisasi pemerintah yang dianggap maju, telah menggunakan
teknologi sebagai sarana untuk meningkatkan kinerjanya. Namun di beberapa
organisasi pemerintah masih dengan “teknologi” yang telah sekian lama. Kondisi
ini jelas tidak mendukung satu perubahan
ke arah lebih baik. Beberapa kasus sering kita jumpai, lambannya pelayanan yang
diberikan karyawan pemerintah, baik terhadap pelayanan maupun penyediaan
informasi. Semestinya dengan kemajuan teknologi yang ada sekarang, sistem
pelayanan menjadi lebih baik, informasi dengan mudah kita akses.
4.
efisiensi
anggaran
di antara kelemahan dan budaya organisasi pemerintah yang menjadi
“parasit” terhadap implementasi “good governance” adalah inefisiensi pada
anggaran yang tersedia. Mental para karyawan adalah “bagaimana menghabiskan”
alokasi anggaran yang ada. Semestinya, bagaimana menggunakan alokasi anggaran
untuk lebih “punya nilai”, baik bagi organisasi maupun masyarakat;
5.
efektivitas
tugas
penyelesaian tugas pada karyawan sampai saat ini, tidak ditetapkan secara
kuantitatif. Tidak ada standar kerja yang harus diselesaikan oleh masing-masing
karyawan. Fenomena yag terlihat, yang “mau” dan “mampu” sajalah yang
menyelesaikan tugas. Sementara dilihat dari struktur tugas, pembagian
kerja/tanggungjawab telah ditetapkan masing-masing oleh pimpinan.
2.
Berkaitan dengan sikap dan perilaku, banyak kritik
dilontarkan terhadap karyawan atau pejabat yang sekembali dari pendidikan dan
pelatihan karyawan, tidak menerapkan apa yang mereka peroleh atau hasil
pendidikan dan pelatihannya. Mereka kembali menyesuaikan dengan budaya kerja
yang ada, artinya kurang berani melakukan inovasi dan perubahan. Bagaimana Anda
menanggapi hal ini?
Keberanian
melakukan inovasi dan perubahan bagi mereka yang telah melakukan diklat:
Ada beberapa alasan, mengapa karyawan
tidak berani melakukan inovasi dalam organisasi:
1.
Sistem organisasi tidak memberikan peluang bagi
karyawan untuk melakukan improvisasi atau mengimplementasikan hasil yang
didapatkan dari diklat;
2.
Kalaupun organisasi memberikan dukungan, tidak lebih
dari sekedar dukungan mental. Sementara untuk menerapkan atau membuat
perubahan, tidak cukup dengan bermodalkan semanta, lebih dari itu dibutuhkan
satu “sistem”, baik pada anggaran, peralatan/teknologi, budaya kerja dan
lain-lain;
3.
Adanya ketakutan pada yang bersangkutan untuk melakukan
perubahan. Ketakutan ini dilatarbelakangi oleh satu asumsi, bahwa pimpinan
“cenderung tidak mau di”gurui” atau diberi masukan ide-ide baru;
4. Karakteristik
pimpinan organisasi. Tidak semua pimpinan bersedia untuk menerima perubahan,
ada yang anti perubahan. Sebagai karyawan, sebagaian besar lebih memilih “aman” dibandingkan untuk beroposisi dengan
pimpinan.
5.
Strategi karyawan dalam melakukan perubahan tidak
“elegan”. Dalam melakukan perubahan pada
organisasi, ada hal-hal yang sering terlupakan. Perubahan tidak hany sekedar
satuu proses transformasi, ide-ide baru, yang tidak kalah pentingnya adalah
bagaimana “membuat” semua orang untuk bisa menerima perubahan secara universal.
Pada konteks ini, kemampuan melakukan “komunikasi” sangat menentukan satu
proses perubahan dalam organisasi.
3. Carilah di website/internet Anda, suatu kasus
atau kondisi yang sedang terjadi di suatu organisasi kerja (swasta atau pun
pemerintah) sehingga Anda dapat menilai atau menyimpulkan bahwa kasus tersebut
menggambarkan suatu perubahan ( apakah itu berkaitan dengan aspek strategi,
budaya, struktur, tugas, teknologi, dan sikap serta keahlian karyawan) Apa
alasan Anda menyimpulkan hal tersebut?
STRATEGI BISNIS NEGARA JEPANG
Kemajuan
Jepang dalam mengelola bisnisnyam melebihi kemampuan Amerika dan beberapa
Negara Eropa lainnya. Keberhasilan Negeri Matahari terbit ini, tidak hanya
“milik” perusahaan/pebisnis semata, lebih dari itu, masyarakat Jepang merupakan
salah satu Negara dengan Pendapatan perkapita tertinggi di dunia.
Menurut
laporan the world Development Report Bank Dunia tahun 1993 pendapatan per
kapita Jepang mencapai $26.930/tahun sementara USA hanya $22.240/tahun.
Sedangkan Indonesia tertinggal jauh dari Jepang yang hanya memiliki pendapatan
per kapita $600/tahun.
keberhasilan
jepang dalam berbagai aspek, baik ekonomi, teknologi dan budaya, mengundang
minat dunia barat untuk melakukan penelitian. Bahkan beberapa di antara
peneliti, bersedia tanpa digaji bekerja di Jepang, dengan catata, mereka
diizinkan untuk melakukan penelitian terhadap budaya maupun menggali segala
rahasia yang mampu mengantarkan jepang sebagai penguasa ekonomi dunia.
“Di balik kesuksesan Jepang, apabila
dikilas balik ke era 60-an, Jepang mencoba bangkit dan memasuki
pasar global untuk barang hasil industri, baik industri elektronik, otomotive
dan lain sebagainya. Bagaimana respon dunia? Jepang menjadi cemohan dan bahan
tertawaan, barang hasil industri Jepang dicemooh sebagai barang tiruan, imitasi
dan kuno, dan sebagainya. Mobil Mazda “kotak”, Suzuki “mini”, saat itu dianggap
sebagai mobil mainan, dan hanya dilirik oleh orang-orang yang pengin punya
mobil, tetapi duit cekak. Pengendara mobil Jepang pada waktu itu, umumnya
mendapat cibiran dari pengendara mobil Eropah atau mobil Amerika, bahwa mobil
Eropa atau mobil Amerikalah baru mobil sesungguhnya”
Apa yang dilakukan menghadapi semua persoalan ini?
“Yang mereka lakukan bukan hal yang rumit, bukan
menjiplak berbagai teori ekonomi dari Barat, tetapi membakar semangat tenaga kerja
dan integritas tentang “etika bisnis” yang timbul dari pemikiran Ishida
Baigan pada abad ke 18, kemudian diajarkan secara luas pada sekolah-sekolah
Ishida yaitu Sekimon Shin-gaku, mengajarkan etika kejujuran dalam mengejar
laba, dan profesionalisme di dalam bekerja, telah berhasil dengan sangat
efektif”
Seylanjutnya pemikiran yang dicetuskan oleh Shibusawa
Eichi pada awal abad ke 20 yaitu semboyan : “hasilkan panen yang bermutu
tinggi, dan jual!”, telah berhasil membentuk masyarakat Jepang menjadi
“masyarakat produksi” yang mementingkan
kualitas, sehingga mereka menerapkan konsep pengendalian mutu terpadu (total
quality control).
Usaha-usaha jepang dalam membangun bisnis senantiasa
diiringi dengan prinsip bahwa perlua usaha perbaikan terus menerus atau “kaizen”. Budaya kaizen merupakan salah
satu budaya yang memiliki kontribusi signifikan terhadap keberhasilan jepang.
Budaya kaizen inilah yang menjadi “letak perbedaan”
antara perusahaan Barat dengan Jepang. Jika manajemen perubahan pada dunia
barat dianggap sebagai suatu strategi perusahaan, maka yang terjadi di Jepang
“perubahan” merupakan “satu budaya” yang ada dan melekat erat pada seluruh
masyarakat Jepang.
Untuk mengukur sejauh mana perbedaan Jepang dan
Amerika dalam “memanaje perusahaan”,
Di tahun 1950-an, Masaaki Imai, bekerja di Japan
Productivity Center di Washington DC. mengantar sekelompok pengusaha Jepang
yang sedang mengunjungi perusahaan Amerika untuk mempelajari “rahasia
produktivitas industri Amerika. Toshiro Yamada, sekarang pensiunan profesor di
Faculty of Engineering di Universitas Kyoto, adalah salah seorang anggota
kelompok belajar yang mengunjungi Amerika Serikat untuk mempelajari industri
kendaraan. Belum lama berselang anggota kelompoknya berkumpul kembali untuk
merayakan ulang tahun perak perjalanan mereka.
Di meja perjamuan Yamada mengatakan bahwa, belum lama ini ia kembali ke Amerika Serikat dalam “perjalanan sentimentil” untuk meninjau kembali beberapa perusahaan yang telah dikunjunginya, di antaranya pabrik baja River Rouge di Dearborn, Michigan. Dengan menggelengkan kepalanya karena heran, ia berkata, “Tahukah Anda bahwa bahwa pabrik itu tetap sama seperti 25 tahun yang lalu”.
Di meja perjamuan Yamada mengatakan bahwa, belum lama ini ia kembali ke Amerika Serikat dalam “perjalanan sentimentil” untuk meninjau kembali beberapa perusahaan yang telah dikunjunginya, di antaranya pabrik baja River Rouge di Dearborn, Michigan. Dengan menggelengkan kepalanya karena heran, ia berkata, “Tahukah Anda bahwa bahwa pabrik itu tetap sama seperti 25 tahun yang lalu”.
Apa sesungguhnya konsep kaizen yang menjadi dasar
keberhasilan jepang?
Kaizen berasal dari kata KAI artinya perbaikan dan ZEN
artinya baik. Bila diartikan Kaizen artinya perbaikan. Kaizen diartikan sebagai
perbaikan terus menerus (continous improvement). Ciri kunci manajemen kaizen
antara lain lebih memperhatikan proses dan bukan hasil, manajmen
fungsional-silang dan menggunakan lingkaran kualitas dan perlatan lain untuk
mendukung peningkatan yang terus menerus (Cane, 1998:27).
Kaizen atau perbaikan secara terus menerus selalu
beriringan dengan Total Quality Management (TQM). Bahkan sebelum filosofi TQM
ini terlaksana atau sebelum system mutu dapat dilaksanakan dalam suatu
perusahaan maka filosofi ini tidak akan dapat dilaksanakan sehingga perbaikan
secara terus menerus (Just in time) ini adalah usaha yang melekat pada filosofi
TQM itu sendiri. Sehingga Kaizen bisa juga merupakan suatu kesatuan pandangan
yang komprehensif dan terintegrasi yang memiliki ciri khas :
1. Berorientasi
pada pelanggan.
2. Pengendalian
mutu secara menyeluruh (Total Quality Management);
3. Robotik
4. Gugus
kendali mutu
5. System
saran
6. Otomatisasi
7. Displin
ditempat kerja
8. Pemeliharan
produktiftas
9. Kanban
(pengontrol inventory)
10.
Penyempurnaan dan perbaikan mutu
11.
Tepat waktu
12.
Tanpa cacat
13.
Kegiatan kelompok kecil
14.
Hubungan kerjasama antara manajer dan karyawan
15.
Pengembangan produk baru
KESIMPULAN
Inti KAIZEN
sederhana sekali dan langsung pada sasaran. KAIZEN berarti penyempurnaan. Di
samping itu KAIZEN berarti penyempurnaan berkesinambungan yang melibatkan
setiap orang, baik manajer maupun karyawan. Filsafat KAIZEN menganggap bahwa
cara hidup kita – baik cara, kehidupan sosial, maupun kehidupan rumah tangga –
perlu disempurnakan setiap saat.
Dari realita
yang ada, baik di dunia pemerintahan dan bisnis Indonesia, terdapat beberapa
perbedaan mendasar antara “manajemen Indonesia dan Jepang”
1.
Keterlibatan
karyawan pada manajemen perusahaan tidak begitu penting, bandingkan dengan
manajemen Jepang.
2.
Perbedaan
perlakuan dan fasilitas antara pimpinan dan karyawan di indonesia, yang
cenderung “membuat kelas” antar pimpinan dan karyawan, akibatnya terjadi
kecemburuan sosial yang pada akhirnya terjadi hubungan tidak harmonis antar
pimpinan perusahaan/organisasi pemerintah dengan karyawan/staf;
3.
“rasa aman”
pada perusahaan jepang dibandingkan dengan “perusahaan/birokrasi” pemerintah
Indonesia. Di Jepang, Manajemen orang Jepang memberikan tekanan kepada para pekerja sebagai modal utama dan
terpenting dalam perusahaan. Dalam konteks ini manajer-manajer Jepang
menggunakan sistem seumur hidup bagi para pekerja. Pada umumnya,
perusahaan-perusaan Jepang berharap bisa memperkejakan para pekerja selama 34
sampai 40 tahun, sampai mereka berhenti. Sistem pekerjaan seumur hidup
mempunyai dua pengaruh positif. Pertama, sistem tersebut menjamin kontinuitas
dan kekuatan pekerja serta mendorong para pekerja untuk berpartisipasi dalam
area manajemen perusahaan. Kedua, ketika para pekerja mempunyai rasa aman dalam
perusahaan, sikap mereka terhadap inovasi dan teknologi adalah positif. Tidak
seperti di Negara Barat, di Jepang penggunaan robot dalam pabrik dapat diterima
dengan baik oleh para pekerja. Bandingkan dengan Indonesia, “rasa aman” hanya
dimiliki di kalangan pemerintah, tidak di dunia swasta. Keputusan PHK kerap
dilakukan sewenang-wenang oleh pimpinan perusahaan. Sementara di dunia
birokrasi, meskipun ada “rasa aman pada pekerjaan” tetapi tidak ada rasa nyaman
dalam bekerja. Otoritas atau kewenangan yang dimiliki para kepala, baik kepala
bagian, kepala bidang atau kepala instansi
lainnya, mendorong mereka pada sikap “arogan” dan “berkuasa” penuh pada
karyawan. Jarang sekali ditemui pimpinan birokrasi yang menghargai eksistensi
“karyawan” di organisasinya.
4.
Hubungan yang harmonis, Di Jepang
tidak ada konflik yang berarti antara buruh dan manajer atau antara perusahaan
dengan pemerintah. Ada dua alasan untuk hal ini. Pertama, orang Jepang tidak
mengenal perbedaan kelas yang kuat. Secara ekonomi, mayoritas orang Jepang
sekitar 69 persen menganggap diri mereka sebagai kelompok berpendapatan
menengah atau menengah atas. Kedua, kekuatan buruh Jepang secara umum cukup
terdidik, mampu dan mempunyai motivasi yang tinggi dikarenakan tingkat
pendidikan yang tinggi di negerinya. Bagaimana di Indonesia? Demontrasi dan
konflik antar buruh dengan perusahaan hampir menjadi bahan pemberitaan media di
setiap harinya.
5.
Dimensi budaya juga memainkan peran utama dalam bisnis
orang Jepang dan industri dunia. Keselarasan dan kesatuan
adalah karakteristik masyarakat Jepang secara keseluruhan. Keselarasan ini juga
terasa kuat dalam perusahaan dikarenakan filosopi dan nilai-nilai persaudaraan dan
perasaaan kesetiakawanan yang diterima oleh seluruh anggota perusahaan.
Oleh karena itu, hubungan antara manajer dan pekerja berdasarkan filosopi, pada
dasarnya perusahaan adalah sebuah keluarga besar di mana para anggotanya hidup
bersama secara harmonis.
6.
Dalam masyarakat Jepang “diri” tidak penting. Yang
paling penting adalah semangat kerja tim. Sebuah ide, di mana semangat tersebut
telah mengakar begitu dalam dalam keluarga orang Jepang dan merupakan hal
terbesar dalam kelompok. Ide ini juga berlaku di perusahaan. Buktinya adalah
setiap pengakuan prestasi atau distribusi tugas langsung ditujukan kepada
kelompok daripada individu. Begitu juga, setiap kesalahan dari seorang pekerja
menjadi tanggungjawab kelompok. Sementara di bangsa kita, sikap mementingkan
diri sendiri, merupakan target utama setiap orang. Semangat membangun kerjasama
tim (teamwork) hanya disuarakan pimpinan dalam menyelesaikan satu pekerjaan,
atau “misi/ambisi” yang terselubung dari pimpinan dari masing-masing pimpinan.
Sikap/perilaku pimpinan ini melahirkan
satu pameo “kesalahan milik karyawan dan
keberhasilan milik para pimpinan”
7.
Sebuah istilah yang menonjol dalam sistem keluarga
orang Jepang adalah “amae” kata ini melukiskan sebuah perasaan keterikatan
antara anak terhadap cinta kepada ibunya. Bagaimanapun juga, ide keterikatan
juga telah mempengaruhi hubungan personal di antara orang dewasa. Yang jelas,
dalam perusahaan, “amae” memainkan peran utama dalam hubungan vertikal antara
manajer dengan subordinatnya dan juga hubungan herizontal di antara para
pekerja itu sendiri.
Salah satu dimensi budaya Jepang yang juga merupakan
keuntungan bagi para manajer adalah bagaimana pendekatan mereka terhadap gejala
seperti ketidakjelasan, ketidakpastian, ketidaksempurnaan dan kepercayaan.
Situasi yang demikian sering terjadi dalam perusahaan yang menggunakan
manajemen pendekatan Barat yang perlu di atasi dengan segera dan
sungguh-sungguh.
Menurut Takeo Fujisawa,
seorang ahli dari The Nomura Research Institut, manajemen orang Jepang adalah
90 % mirip dengan pendekatan Barat, akan tetapi 5 % yang membuat segalanya
menjadi berbeda, karena 5 % tersebut terdapat aspek yang paling penting yaitu
pendekatan manusia secara total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar